Kado Terindah
~
Dina Syahfitri Lubis
~
Langit
berselimut pekat. Bulan tak sudi menampakkan diri. Bintang-bintang turut
bersembunyi. Sesekali terdengar suara jangkrik dan burung malam mengusik sepi.
Resah menjalar dan menjeda tidurku. Kulangsirkan kantuk dengan cucuran air
wudhu. Di sepertiga malam waktu yang
tepat bermunajah pada Allah. Mengadu atas segala resah yang menggelayuti dada.
Tak terasa
tiga tahun sudah kutempuh jalan yang penuh rintangan menuju sekolah. Tiap pagi
aku harus berteman dengan arus sungai sembari memegang seutas tali tambang yang
menggelantung. Kini aku berada di ujung singgasana putih abu-abu. Singgasana
yang menjadi sejarah di hidupku. Dalam
setiap prestasi yang telah
kupatri.
Siang
tadi, sedih menyulam hati. Saat teman-temanku asyik membahas universitas yang
akan mereka masuki. Aku hanya diam membisu. Tak halnya batu. Sungguh, di hati
paling dalam aku ingin menimba ilmu di bangku kuliah. Aku ingin menjadi seorang
guru di kampungku. Itulah cita-cita kecilku dulu. Tetapi, kasihan Ayah dan Ibu
yang terus membanting tulang pagi, siang dan malam demi aku dan dua adikku.
Bisa saja cita-citaku menjadi bumerang. Ya, bisa dikatakan aku lintah penghisap
darah. Yang terus menguras lembaran rupiah.
Kami menetap di sudut desa Aragis. Pepohonan
yang hijau. Udara asri tanpa polusi.
Saban hari burung-burung berkicau merdu di pucuk-pucuk bambu. Kami bernaung di rumah yang sederhana. Beratap
rumbia dan berdinding tepas. Desa yang melimpahkan rezeki di lahan-lahan subur.
Terbentang sawah menguning. Sayur-sayuran, buah-buahan segar yang siap dijual
ke pusat pasar. Namun, ada kesedihan yang merambat di dadaku. Saat pendidikan
di desaku diabaikan. Masih banyak teman seusiaku yang buta angka dan baca. Dan
inilah mengapa aku ingin menjadi seorang guru.
Sungai
yang mengalir bagai dua sisi mata uang. Air yang mengalir digunakan untuk
irigasi di petak sawah. Menyuburkan harapan pada senyum petani. Semburat
bahagia terlukis pada wajah bocah kecil yang menikmati dingin air. Dan pada
wajah ibu-ibu yang mencuci baju di bibir sungai mengendong anak di bahu
belakang. Tetapi, sungai yang indah
menjadi hal yang menakutkan. Ketika hujan terus tertumpah. Meluaplah air
sungai ke sawah-sawah. Akibatnya hasil panen gagal.
Banyak
para orangtua di desaku yang menganggap sekolah itu tidak begitu penting.
Sekolah hanya menghabiskan biaya dan waktu saja. Tetapi, berbeda dengan ayah
dan ibuku.
“Bisa baca
dan tahu angka saja sudah cukup! Apalagi anak perempuan, tidak perlu sekolah
tinggi-tinggi. Toh, kerjanya balik ke dapur,” ungkap Bu Salma tetanggaku,
kepada anaknya.
Miris mendengarnya. Tetapi begitulah pandangan
kolot orang-orang di desaku. Setiap minggu tak jarang undangan pernikahan
mampir ke rumahku. Dari kawan sebaya bahkan usianya masih sangat belia.
Pernikahan dini sudah sangat mewabah. Mengapa tidak? Tak ada yang perlu
dinanti-nanti gadis desa selain pinangan.
“Ta, setelah lulusan kamu nyambung kuliah atau
kerja?” tanyaku penasaran.
“Aku
nyambung kepelaminan. Sekolah tinggi-tinggi sekalipun sama saja perannya jadi
ibu-ibu ngurusi anak. Kalau menikah taklah
memerlukan syarat harus lulusan ini atau lulusan itu,” tuturnya bernada
santai.
Betapa
terkejutnya aku. Padahal Orangtuanya termasuk orang terpandang di desa ini.
Niatku semakin kuat untuk menghanguskan pandangan primitip tentang pendidikan.
Aku tak banyak berkomentar. Lalu mengalihkan pembicaraan agar amarahku tak
mendidih.
Ada kisah
yang mengemparkan desa ini. Dan menjadi cibiran ibu-ibu di kedai
sampah Pak Amat. Setahun yang lalu Kak Wati anak Pak Kades menyandang gelar
sarjana dari perguruan tinggi terkenal. Dia kembali ke desa dan hingga sekarang
masih menjadi pangangguran. Padahal niatnya tulus untuk mengabdi di desa ini.
Kehadirannya membawa semangat baru. Dia membuka wawasan yang up date bagi kami para remaja. Tetapi,
yang namanya ibu-ibu tahunya sekolah tinggi untuk menjamin pekerjaan.
Dan satu kisah lagi dari Rani seorang gadis
desa yang berprestasi lalu putus sekolah
karena ekonomi yang menjepit. Saat itu Rani mendapat tawaran bekerja dan
dijanjikan untuk melanjutkan sekolah
ketingkat yang lebih tinggi. Selama tiga tahun setelah menerima pekerjaan itu.
Rani pun raib dan tak tau di mana berada. Musabab ketidakmampuan dalam
pendidikan dia siap menerima resiko apapun itu.
***
“Anakku,
jika kalian punya mimpi, bermimpilah!
Hanya tenaga dan do’a yang bisa Ayah beri untuk kalian. Kita tak punya
ladang atau sawah yang bisa dijual untuk mimpi-mimpi itu. Tetapi, yakinlah
anakku. Allah akan memberi jalan bagi sang pemimpi.” Pesan Ayah dikala kami
bekumpul dalam kebersamaan.
“Kalian harus sekolah yang rajin. Cari uang susah,
apalagi kalau kalian tidak bersekolah. Bagaimana masa depan kalian nanti?”
tambah Ibu menasihati kami.
Saban hari
Ayah dan Ibu menguras keringat.
Menganyun cangkul di petak-petak sawah. Membiarkan ,mentari menyengat kulitnya.
Bersimbah peluh di sekujur tubuh.
Berkarib dengan lumpur dan cacing-cacing tanah. Susah sungguh mereka memperjuangkan agar kami tetap
bersekolah.
***
Mentari
mulia terbangun di ufuk timur. Aku, Laila dan Zahwa adikku bergegas ke sekolah.
Kukecup jemari Ayah dan Ibu yang selalu mengalirkan cinta dan ketulusan. Jemari
yang menghamparkan do’a di sepanjang jalan.
Pagi, itu langit berawan mengarak
pejalanan kami menuju sekolah. Sebelum pelajaran di mulai, Pak Burhan
memangilku ke ruang Tata Usaha. Disuguhkan pada jemariku amplop putih. Kubuka
perlahan,dengan gemuruh jantung yang tak karuan. Tertera tulisan “LULUS SELEKSI
PENGGURUAN TINGGI NEGERI”. Bulir kebahagiaan pecah dari sudut mataku. Aku tak
menyangka seleksi beasiswa yang kuikuti memihak padaku. Guratan senyum Pak
Burhan terkanvas di wajahnya.
“Selamat
ya, Nak!” ucap Pak Burhan sambil megelus kepalaku.
Petang
merambat perlahan seakan aku tak sabar menanti Ayah dan Ibu sampai ke beranda
rumah. Ini kado terindah pada usiaku yang ke 17 tahun dua hari lagi. Nikmat yang terus dicurahkan
Allah bagiku, sebagai jawab dari munajahku di sepertiga malam. Menjawab resah
yang bergelantungan di langit tanya.
Semoga
Allah selalu meridhoi setiap langkah yang kurajut untuk masa depan. Dan akan
kubuktikan bahwa pendidikan penting. Tak terkecuali aku Perempuan. Kartini akan
tetap lahir kembali semasih ada denyutan nadi. Dunia KOMA
Patumbak,
Mei 2012