Kamis, 06 Desember 2012


Kado Terindah
~ Dina Syahfitri Lubis ~

Langit berselimut pekat. Bulan tak sudi menampakkan diri. Bintang-bintang turut bersembunyi. Sesekali terdengar suara jangkrik dan burung malam mengusik sepi. Resah menjalar dan menjeda tidurku. Kulangsirkan kantuk dengan cucuran air wudhu. Di sepertiga malam  waktu yang tepat bermunajah pada Allah. Mengadu atas segala resah yang menggelayuti dada.
Tak terasa tiga tahun sudah kutempuh jalan yang penuh rintangan menuju sekolah. Tiap pagi aku harus berteman dengan arus sungai sembari memegang seutas tali tambang yang menggelantung. Kini aku berada di ujung singgasana putih abu-abu. Singgasana yang menjadi sejarah di hidupku. Dalam  setiap prestasi yang telah  kupatri.
Siang tadi, sedih menyulam hati. Saat teman-temanku asyik membahas universitas yang akan mereka masuki. Aku hanya diam membisu. Tak halnya batu. Sungguh, di hati paling dalam aku ingin menimba ilmu di bangku kuliah. Aku ingin menjadi seorang guru di kampungku. Itulah cita-cita kecilku dulu. Tetapi, kasihan Ayah dan Ibu yang terus membanting tulang pagi, siang dan malam demi aku dan dua adikku. Bisa saja cita-citaku menjadi bumerang. Ya, bisa dikatakan aku lintah penghisap darah. Yang terus menguras lembaran rupiah.
 Kami menetap di sudut desa Aragis. Pepohonan yang hijau. Udara asri tanpa polusi.  Saban hari burung-burung berkicau merdu di pucuk-pucuk bambu. Kami  bernaung di rumah yang sederhana. Beratap rumbia dan berdinding tepas. Desa yang melimpahkan rezeki di lahan-lahan subur. Terbentang sawah menguning. Sayur-sayuran, buah-buahan segar yang siap dijual ke pusat pasar. Namun, ada kesedihan yang merambat di dadaku. Saat pendidikan di desaku diabaikan. Masih banyak teman seusiaku yang buta angka dan baca. Dan inilah mengapa aku ingin menjadi seorang guru.
Sungai yang mengalir bagai dua sisi mata uang. Air yang mengalir digunakan untuk irigasi di petak sawah. Menyuburkan harapan pada senyum petani. Semburat bahagia terlukis pada wajah bocah kecil yang menikmati dingin air. Dan pada wajah ibu-ibu yang mencuci baju di bibir sungai mengendong anak di bahu belakang. Tetapi, sungai yang indah  menjadi hal yang menakutkan. Ketika hujan terus tertumpah. Meluaplah air sungai ke sawah-sawah. Akibatnya hasil panen gagal.
Banyak para orangtua di desaku yang menganggap sekolah itu tidak begitu penting. Sekolah hanya menghabiskan biaya dan waktu saja. Tetapi, berbeda dengan ayah dan ibuku.
“Bisa baca dan tahu angka saja sudah cukup! Apalagi anak perempuan, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Toh, kerjanya balik ke dapur,” ungkap Bu Salma tetanggaku, kepada anaknya.
 Miris mendengarnya. Tetapi begitulah pandangan kolot orang-orang di desaku. Setiap minggu tak jarang undangan pernikahan mampir ke rumahku. Dari kawan sebaya bahkan usianya masih sangat belia. Pernikahan dini sudah sangat mewabah. Mengapa tidak? Tak ada yang perlu dinanti-nanti gadis desa selain pinangan.
“Ta,  setelah lulusan kamu nyambung kuliah atau kerja?” tanyaku penasaran.
“Aku nyambung kepelaminan. Sekolah tinggi-tinggi sekalipun sama saja perannya jadi ibu-ibu ngurusi anak. Kalau menikah taklah  memerlukan syarat harus lulusan ini atau lulusan itu,” tuturnya bernada santai.
Betapa terkejutnya aku. Padahal Orangtuanya termasuk orang terpandang di desa ini. Niatku semakin kuat untuk menghanguskan pandangan primitip tentang pendidikan. Aku tak banyak berkomentar. Lalu mengalihkan pembicaraan agar amarahku tak mendidih.
Ada kisah yang mengemparkan desa ini. Dan menjadi cibiran ibu-ibu di  kedai sampah Pak Amat. Setahun yang lalu Kak Wati anak Pak Kades menyandang gelar sarjana dari perguruan tinggi terkenal. Dia kembali ke desa dan hingga sekarang masih menjadi pangangguran. Padahal niatnya tulus untuk mengabdi di desa ini. Kehadirannya membawa semangat baru. Dia membuka wawasan yang up date bagi kami para remaja. Tetapi, yang namanya ibu-ibu tahunya sekolah tinggi untuk menjamin pekerjaan.
 Dan satu kisah lagi dari Rani seorang gadis desa yang berprestasi lalu  putus sekolah karena ekonomi yang menjepit. Saat itu Rani mendapat tawaran bekerja dan dijanjikan untuk  melanjutkan sekolah ketingkat yang lebih tinggi. Selama tiga tahun setelah menerima pekerjaan itu. Rani pun raib dan tak tau di mana berada. Musabab ketidakmampuan dalam pendidikan dia siap menerima resiko apapun itu.

***
“Anakku, jika kalian punya mimpi, bermimpilah!  Hanya tenaga dan do’a yang bisa Ayah beri untuk kalian. Kita tak punya ladang atau sawah yang bisa dijual untuk mimpi-mimpi itu. Tetapi, yakinlah anakku. Allah akan memberi jalan bagi sang pemimpi.” Pesan Ayah dikala kami bekumpul dalam kebersamaan.
“Kalian  harus sekolah yang rajin. Cari uang susah, apalagi kalau kalian tidak bersekolah. Bagaimana masa depan kalian nanti?” tambah Ibu menasihati kami.
Saban hari Ayah dan Ibu  menguras keringat. Menganyun cangkul di petak-petak sawah. Membiarkan ,mentari menyengat kulitnya. Bersimbah peluh di sekujur  tubuh. Berkarib dengan lumpur dan cacing-cacing tanah. Susah  sungguh mereka memperjuangkan agar kami tetap bersekolah.
***
Mentari mulia terbangun di ufuk timur. Aku, Laila dan Zahwa adikku bergegas ke sekolah. Kukecup jemari Ayah dan Ibu yang selalu mengalirkan cinta dan ketulusan. Jemari yang menghamparkan do’a di sepanjang jalan.
            Pagi, itu langit berawan mengarak pejalanan kami menuju sekolah. Sebelum pelajaran di mulai, Pak Burhan memangilku ke ruang Tata Usaha. Disuguhkan pada jemariku amplop putih. Kubuka perlahan,dengan gemuruh jantung yang tak karuan. Tertera tulisan “LULUS SELEKSI PENGGURUAN TINGGI NEGERI”. Bulir kebahagiaan pecah dari sudut mataku. Aku tak menyangka seleksi beasiswa yang kuikuti memihak padaku. Guratan senyum Pak Burhan terkanvas di wajahnya. 
“Selamat ya, Nak!” ucap Pak Burhan sambil megelus kepalaku.        
Petang merambat perlahan seakan aku tak sabar menanti Ayah dan Ibu sampai ke beranda rumah. Ini kado terindah pada usiaku yang ke 17 tahun  dua hari lagi. Nikmat yang terus dicurahkan Allah bagiku, sebagai jawab dari munajahku di sepertiga malam. Menjawab resah yang bergelantungan di langit tanya.
Semoga Allah selalu meridhoi setiap langkah yang kurajut untuk masa depan. Dan akan kubuktikan bahwa pendidikan penting. Tak terkecuali aku Perempuan. Kartini akan tetap lahir kembali semasih ada denyutan nadi.                                                                 Dunia KOMA
Patumbak, Mei 2012